Selasa, 24 September 2013

Jakarta Indonesia




Jakarta, Ibu kota Negara Indonesia. Kota super sibuk dengan segala urusannya. Jakarta.. Melihat tulisannya saja, terbayang sudah di benak saya kota 1001 malam yang hidup 24 jam setiap harinya. Baik urusan pemerintahan, Dunia  showbiz  yang  glamour, gedung pencakar langit yang menjulang tinggi ke angkasa, serta jumlah penduduknya yang semakin hari semakin padat.


Jakarta, kota ke-2 yang saya sukai setelah kota Bandung. Jakarta dalam pandangan saya, bagaikan perhiasan dalam tubuh. Pemanis. Sebaiknya di pakai dalam kadar yang cukup. Bukan berlebihan.  Bukan juga untuk di pakai setiap hari. Saya suka kota Jakarta dalam hal fasilitas, arsitektur gedung-gedungnya, kecanggihan teknologinya, dll. Jujur, bahkan di kota Bandung pun yang jarak tempuhnya hanya 2,5 jam ke Jakarta, semua perbedaan itu jelas terasa.

Jakarta menjanjikan kemegahan. Hal itu tak bisa saya pungkiri. Ya, megah. Tak ada kata lain yang pantas. Tapi kemegahan itu di selubungi dengan celah-celah hitam yang bertebaran.. Seperti halnya saya menyukai Jakarta, sebagian perasaan saya pun sepakat untuk tidak menyukainya. Saya pernah menetap di Jakarta selama 3 bulan dalam rangka mencari suasana baru selain kota Bandung. Selama 3 bulan saya Jakarta, tahap demi tahap saya pun mulai memahami culture, budaya, masyarakat, dan habittual yang ada di kota kemegahan itu.

Jakarta.. kota yang sungguh padat. Perkembangan pembagunan kota ini begitu pesat. Namun tidak dibarengi dengan penatan pemukiman yang menurut saya semraut. Rumah kumuh dapat kita jumpai hampir di setiap sudut kota. Jemuran – jemuran baju warga yang dengan leluasa dapat di jemur di sekeliling taman kota. Hmm..

Masyarakat Jakarta. Sebelum kita membahasnya lebih lanjut, saya ingin menjelaskan asal dari kesimpulan atas sudut pandang saya. Saya lahir di kota Bandung, Jawa Barat. Saya suku sunda. Saya suka travelling. Beberapa kota besar di Indonesia sudah saya kunjungi. Dan di antara beberapa kota yang pernah saya kunjungi termasuk Jakarta, hanya masyarakat kota Jakartalah yang hampir dapat membuat kesabaran saya habis. Jujur, saya terbiasa untuk sabar dan mengalah, hal itu sudah menjadi tradisi dan kebiasaan dalam culture suku saya, sunda. Tapi di kota Jakarta, waktu itu adalah uang. Waktu adalah kesempatan.

Entah kenapa, mungkin karena kesibukan yang padat serta cuaca yang panas akibat iklim pantai, masyarakat di sana tidak bisa menunggu barang 5 menit.. Rasanya semua terburu-buru. Dalam hal mengantri makanan, mengantri busway, Bahkan hanya sekedar jalan kaki. Semuanya serba cepat. Dan.. jika kita melakukan satu kesalahan. Contoh : Menyenggol karena tidak sengaja. Itu bisa mengakibatkan minimal tatapan maut, maksimalnya kata-kata menggerutu yang menyayat batin. Hahahaha. Bukan berarti saya rasis atau membanding-bandingkan. Saya hanya mau menerangkan mengapa hal itu dapat terjadi. Dan jujur, saya tidak suka hal-hal seperti itu. Jika tatapan dan gerutuan itu terjadi di Bandung, maka orang yang menggerutu dan menatap itulah yang akan kami beri tatapan maut. Hahaha.

Saya tidak suka kosakata yang kasar. Saya merasa kosakata itu tidak pantas. Saya kira bahasa “kancing coplok” di Bandung sepertinya sudah cukup membuat orang tua mereka memutar balik pemikiran. Tapi ternyata ada kosakata yang lebih ajaib dari itu. Di Jakarta, anak kecil, ABG, orang dewasa pun memiliki kosa kata yang tidak kalah ajaibnya dari sekedar “kancing coplok”. Hal-hal berbau pornografi pun dijadikan santap kosakata harian. Miris… Menurut saya kosakata yang mereka pakai terlalu riskan untuk anak seusia mereka. Bahkan orang dewasa pun tidak pantas mengenakan kosakata itu dalam kehidupan sehari-hari.

Kemacetan.. Sungguh, hal yang satu ini benar-benar melekat dalam image kota Jakarta selama ini. Macet.. macet.. macet.. tidak ada hari tanpa macet. Hal ini pasti di rasakan oleh setiap warga Jakarta. Macet adalah pemandangan yang biasa. Selama saya di sana, saya menyadari. Setiap saya naik taxi, argo yang seharusnya hanya 40-50.000 jika jalan lancar, menjadi 70-80.000 karena kemacetan. Dan yang menyebalkannya, itu harus di maklumi. Wacana Pemerintah kota untuk menerapkan kebijakan plat ganjil – genap pun menemui banyak kendala.

Pemerintah kota seolah tidak di dukung oleh Pemerintah pusat… Masalah mobil murah yang dalam hal ini saya setuju dengan Pak Joko Widodo (Jokowi) pun tak kalah terkendalanya dengan wacana-wacana yang lain. Mungkin pembahasan lebih lanjut akan kita bahas dalam artikel saya yang selanjutnya.

Setelah mengulas beberapa hal tentang apa yang saya sukai dan tidak disukai dari kota Jakarta, mungkin ini hal terakhir yang akan saya bahas.

Kepedulian, rasa memiliki akan tempat mereka tinggal dan berpijak sepertinya belum dimiliki secara keseluruhan oleh warga kota ini. Atau memang belum ada… Entah karena mereka masyarakat pendatang atau memang mereka memiliki sikap yang cukup apatis. Saya yakin, jika masyarakat Jakarta perduli akan kotanya, kota ini akan jadi lebih baik lagi. Tidak akan ada lagi sampah yang berserakan karena di buang sembarangan. Tidak akan ada lagi jemuran di sekeliling taman kota. Rumah kecil tidak mengapa, asal lingkungan di sekitarnya di jaga, bersih, tertata rapi. tidak kotor yang menjurus ke kumuh…

Jakarta kota yang memabukan. Di Jakarta, saya menemukan beberapa  puzzle yang hilang dari hidup saya. Saya bukan seorang pemimpi. Tapi Jakarta membawa magnet tersendiri kepada saya untuk bermimpi. Seperti selema hidup kita yang di pergunakan untuk belajar dan mempelajari sesuatu. Banyak hal negatif dalam hidup ini. Tapi tidak semua negatif. Di mana ada negatif, pasti kita pun menemukan letak sebuah positif. Begitu pun kota Jakarta. Ambil hal yang positif dari kehidupan kota metropolitan itu yang membuat diri kita lebih baik. Jangan sampai kemegahan itu membuat kita terlena dan mengubah jati diri kita. Kata kuncinya perduli dan memiliki. Saya yang bukan warga Jakarta saja merasa cinta dan perduli akan Jakarta. Saya harap warga asli Jakarta pun begitu. – Salam -

View my post too at undera.in

Tidak ada komentar:

Posting Komentar